Di Balik Tembok PLTU Amurang: Kisah Buruh Outsourcing yang Terlupakan

MINSEL, Inspirasisulut.com – Suasana sore di Desa Tawaang Barat terasa lengang. Angin laut berhembus pelan, membawa aroma asin bercampur debu dari arah PLTU Amurang. Dari kejauhan, asap tipis mengepul dari cerobong pembangkit listrik tenaga uap yang menjadi kebanggaan Minahasa Selatan. Namun di balik megahnya fasilitas vital itu, tersimpan cerita getir buruh outsourcing PT. Mega Daya Tangguh (MDT) yang merasa hidupnya diabaikan.
Profil PT Mega Daya Tangguh
PT Mega Daya Tangguh (MDT) dikenal sebagai salah satu perusahaan penyedia tenaga kerja (outsourcing) yang sejak awal beroperasi di lingkungan PLTU Amurang. Perannya cukup vital: memasok tenaga kerja kontrak untuk mendukung operasional pembangkit listrik.
Namun, dari informasi yang dihimpun, perusahaan ini kerap dituding tidak transparan dalam proses perekrutan, lebih memilih tenaga kerja dari luar daerah, serta tidak menjalankan kewajiban dasar ketenagakerjaan terhadap pekerja lokal.
Hingga kini, belum ada catatan resmi yang menunjukkan kontribusi PT MDT terhadap masyarakat sekitar. CSR yang seharusnya diwajibkan undang-undang, nihil sejak perusahaan beroperasi.
PHK Sepihak dan Hak yang Hilang
Seorang mantan karyawan yang telah bekerja bertahun-tahun di bawah naungan PT MDT, menceritakan pengalamannya dengan getir.
“Kontrak saya diputus begitu saja. Tidak ada pesangon, tidak ada BPJS, tidak ada THR. Hanya surat pemutusan hubungan kerja. Habis perkara,” ujarnya, meminta identitasnya dirahasiakan karena takut tekanan.
Cerita itu bukan kasus tunggal. Banyak pekerja lain mengaku mengalami hal serupa. Hak dasar pekerja yang dilindungi UU Ketenagakerjaan seolah tidak berlaku di balik tembok PLTU Amurang.
Desa yang Tak Pernah Dilirik
Sekretaris Desa Tawaang Barat, Christian Langkay, geram dengan sikap perusahaan.
“Sejak 2016, jangankan CSR, komunikasi dengan pemerintah desa saja tidak pernah ada. Padahal mereka beroperasi di wilayah kami,” tegasnya.
Bagi warga, kehadiran perusahaan outsourcing itu justru terasa asing: menutup diri dari pemerintah desa, tidak peduli pada masyarakat, dan lebih sering mendatangkan masalah daripada manfaat.
Pelanggaran yang Kasat Mata
Jika dugaan ini benar, PT MDT bukan hanya abai, tetapi melanggar aturan secara terang-terangan:
PHK tanpa pesangon: bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan Pasal 156.
Tidak ada BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan: melanggar UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS.
Tidak ada THR: menyalahi Permenaker No. 6 Tahun 2016.
Cuti yang diabaikan: melanggar UU Ketenagakerjaan Pasal 79.
CSR yang nihil: melanggar UU PT No. 40 Tahun 2007 Pasal 74.
Tekanan, Ketakutan, dan Diamnya Pemerintah
Yang lebih memprihatinkan, ada cerita soal intimidasi. “Kalau ada pekerja lokal yang protes, ancamannya kontrak tidak diperpanjang. Jadi banyak yang memilih diam,” ujar seorang mantan pekerja.
Ketakutan inilah yang membuat masalah bertahun-tahun tidak pernah mencuat ke publik. Hingga akhirnya, suara-suara keberanian mulai muncul.
Desakan Warga dan DPRD
Kini masyarakat mendesak DPRD Minahasa Selatan memanggil manajemen PT MDT. Desakan itu bukan hanya soal hak pekerja, tapi juga soal kehadiran perusahaan yang sama sekali tidak membawa manfaat bagi daerah.
“Ini soal martabat. Pekerja bukan budak. Pemerintah jangan tutup mata,” kata salah satu tokoh masyarakat.
Akhir yang Masih Menggantung
PLTU Amurang berdiri megah, menyuplai listrik bagi banyak wilayah. Tetapi di balik nyala lampunya, ada buruh outsourcing yang kehilangan hak, ada desa yang terabaikan, ada aturan negara yang diabaikan.
Kini pertanyaan besar menggantung di udara: Apakah DPRD dan Pemkab Minahasa Selatan berani menindak PT MDT, atau justru membiarkan buruh tetap jadi korban di tanah sendiri?
(red)