Audiensi Panas di DPRD Minsel: LSM, Ormas, dan Pers Pertanyakan Integritas Wakil Rakyat

MINSEL, Inspirasisulut.com – Suara kritis masyarakat kembali menggema di Gedung DPRD Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel). Aliansi LSM, Ormas, dan organisasi kewartawanan pada Kamis (04/09/2025) menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang berlangsung sengit. Mereka menuntut DPRD tidak hanya jadi simbol, tetapi benar-benar hadir sebagai representasi rakyat.

Audiensi ini dipelopori empat LSM besar—ASKAINDO, LI-TIPIKOR, INAKOR, dan LAKI—dengan dukungan PWI, IWO, SPRI, serta insan pers lokal. Namun di balik antusiasme forum, sorotan tajam mengarah pada ketidakhadiran beberapa anggota dewan: Elsye Roosje Sumual, Rommy Pondaag, Donny Walean, Jerry Pangkey, dan Ricky Kalangi.

“Ketidakhadiran mereka adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Kalau tidak siap mengabdi, lebih baik mundur,” tegas salah satu perwakilan LSM.

Isu yang diangkat pun tidak main-main. Mulai dari desakan agar DPRD Minsel menyuarakan RUU Perampasan Aset, penolakan kenaikan gaji DPR RI, hingga persoalan lokal yang dinilai meresahkan: kenaikan pajak, polemik Pilhut, perilaku amoral oknum dewan, perusahaan tanpa izin dan IPAL, serta dugaan ketidaktransparanan dana publikasi.

Di tengah kritik keras itu, Ketua DPRD Minsel Stefanus Lumowa berusaha menenangkan situasi.

“Kita akan tampung, kita saring, dan tindaklanjuti sesuai tupoksi kami,” ujar Lumowa, meski pernyataan tersebut dinilai klise oleh sebagian peserta.

Fenomena di Minsel ini menjadi kontras dengan aksi-aksi anarkis di sejumlah daerah lain di Indonesia, di mana gelombang massa menuntut pembubaran DPR. Namun para LSM dan Ormas di Minsel memilih jalur audiensi—meski dengan catatan ultimatum keras.

Mereka memberi tenggat 10 hari. Jika aspirasi yang disampaikan tidak direspons, mereka berjanji akan kembali dengan membawa massa lebih besar.

“Apabila tidak ada hasil konkret, kami akan kembali. Bisa saja dengan cara berbeda, tapi tetap dalam bentuk aksi damai,” tegas Noldy Poluakan, perwakilan LSM.

Gelombang kritik ini menegaskan bahwa kesabaran publik terhadap wakil rakyat makin menipis. DPRD Minsel kini diuji: apakah benar-benar berpihak pada rakyat, atau hanya memperkuat stigma “dewan tidur” yang makin menggerus legitimasi lembaga perwakilan.